Cara Kami Menanggapi Teror: Kepahlawanan, Pelarian, dan Dorongan Cenderung Berteman

0
3

Serangan kekerasan baru-baru ini terhadap penumpang kereta api di Cambridgeshire menimbulkan gelombang kejutan di seluruh negeri. Kisah tentang individu-individu pemberani yang mempertaruhkan hidup mereka untuk membantu orang lain sangat berbeda dengan mereka yang memilih melarikan diri demi bertahan hidup – menimbulkan pertanyaan wajar: Apa yang akan Anda lakukan dalam situasi mengerikan seperti ini?

Psikolog Emma Kavanagh, dengan pengalaman luas bekerja dengan personel polisi dan militer, menjelaskan respons manusia yang kompleks ini. Dia mengingatkan kita bahwa narasi “lawan atau lari”, meskipun umum, terlalu menyederhanakan reaksi kita terhadap bahaya. Kita pada dasarnya adalah makhluk sosial; oleh karena itu, naluri ketiga yang kuat muncul: merawat dan berteman.

Dorongan yang sering diabaikan ini melonjak dalam keadaan darurat. Bayangkan orang tua yang berlari ke arah anak-anak mereka saat terjadi penembakan di sekolah atau orang-orang yang berkumpul di sekitar korban kecelakaan. Segera setelah peristiwa traumatis, kita secara naluriah berusaha melindungi mereka yang terluka dan menghibur mereka yang membutuhkan. Respons “merawat dan berteman” ini sudah mendarah daging; hal ini memupuk hubungan dan dukungan pada saat-saat kerentanan kolektif.

Jadi, apakah itu berarti melarikan diri sama dengan pengecut? Sama sekali tidak. Ketika dihadapkan dengan ancaman fisik, memprioritaskan keselamatan diri melalui penerbangan bisa menjadi keputusan paling rasional. Ini adalah respons mendasar yang dirancang oleh evolusi untuk menjamin kelangsungan hidup. Namun, Kavanagh berpendapat bahwa ketika keselamatan telah terjamin, dorongan untuk “merawat dan berteman” sering kali mengambil alih.

Berbagai faktor mempengaruhi bagaimana seseorang merespons dalam situasi seperti ini:

  • Skema pribadi: Pernahkah Anda membayangkan diri Anda sebagai pahlawan? Secara sadar atau tidak, membentuk model mental ini sebelumnya dapat berdampak signifikan pada perilaku selama krisis. Dalam skenario stres tinggi, korteks prefrontal kita (yang bertanggung jawab atas pemikiran rasional) kewalahan, dan malah mengandalkan naluri dan pola yang telah diprogram sebelumnya – skema tersebut.
  • Pengalaman sebelumnya: Mereka yang terlatih dalam tanggap darurat (polisi, militer) sering kali unggul karena mereka telah belajar mengelola kepanikan awal dan menilai situasi dengan tenang. Pengalaman masa lalu dalam menghadapi krisis dapat membekali kita dengan keterampilan mengatasi masalah yang berharga.
  • Identitas diri: Orang yang secara aktif memupuk rasa ingin membantu lebih cenderung bertindak sesuai dengan keadaan darurat.

Dampak trauma sangat bersifat individual, dengan reaksi yang sangat bervariasi bergantung pada riwayat dan keadaan pribadi. Segera setelahnya, gejolak emosi – kecemasan, kilas balik, sulit tidur – adalah hal yang wajar. Respons yang kuat ini mencerminkan otak kita yang bergulat untuk memproses hal-hal yang tidak terbayangkan dan mengintegrasikan pengalaman tersebut ke dalam pemahaman kita tentang diri kita sendiri. Seiring berjalannya waktu, bagi kebanyakan orang, perasaan ini perlahan-lahan mereda seiring mereka beradaptasi dan memasukkan identitas baru mereka sebagai “orang yang selamat”. Meskipun bekas luka mungkin masih ada, banyak yang melaporkan mengalami pertumbuhan pasca-trauma – menjadi lebih kuat dan lebih tangguh dibandingkan sebelumnya.

Kavanagh menekankan bahwa mencari dukungan sangat penting jika tekanan terus berlanjut. Sumber daya kesehatan mental seperti Mind di Inggris, 988 lifeline di AS, Beyond Blue di Australia, menawarkan bantuan penting untuk mengatasi emosi yang menantang ini.

Ingat: Tidak ada satu pun respons yang “benar” terhadap teror. Yang paling penting adalah memahami bahwa naluri kita rumit dan beragam, dibentuk oleh pengalaman individu dan kengerian unik yang kita hadapi.