Bakteri Beracun Terkait dengan Kolitis Ulseratif: Pemahaman Baru tentang Penyakit Radang Usus

0
16

Kolitis ulserativa, suatu penyakit radang usus (IBD) yang melemahkan, mungkin dipicu oleh racun yang dihasilkan oleh bakteri umum yang ditemukan dalam air yang terkontaminasi. Penelitian baru dari Universitas Nanjing di Tiongkok menunjukkan bahwa paparan bakteri ini menyebabkan rusaknya sel-sel kekebalan penting di usus besar, sehingga secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya kondisi tersebut. Penemuan ini dapat mengubah cara kita melakukan pengobatan dan pencegahan kolitis ulserativa, yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia.

Peran Makrofag dalam Imunitas Usus

Kolitis ulserativa ditandai dengan peradangan kronis pada usus besar dan rektum, sering kali terjadi antara periode bebas gejala dan kambuh parah. Penyebab pasti penyakit ini masih sulit dipahami, meskipun sebagian terkait dengan respons autoimun, genetika, dan faktor lingkungan. Para peneliti sekarang percaya bahwa makrofag—sel kekebalan yang bertanggung jawab membersihkan kotoran dan mengatur peradangan—adalah kunci untuk memahami perkembangan penyakit ini.

Makrofag bertindak sebagai penjaga gerbang, memberikan peringatan ketika peradangan diperlukan, namun juga menandakan kembalinya ketenangan. Penelitian mengungkapkan bahwa pasien dengan kolitis ulserativa memiliki makrofag yang jauh lebih sedikit di jaringan usus besar mereka. Percobaan pada tikus menegaskan bahwa menghilangkan sel-sel ini membuat mereka lebih rentan terkena kolitis, menunjukkan bahwa penipisan makrofag secara langsung berkontribusi terhadap peradangan usus.

Aerolysin: Racun di Inti Masalah

Kaitan penting ini muncul ketika para peneliti mengidentifikasi aerolysin, racun kuat yang diproduksi oleh bakteri Aeromonas. Racun ini secara selektif membunuh makrofag tanpa merugikan sel-sel usus lainnya. Strain Aeromonas yang mampu menghasilkan aerolysin, disebut MTB (bakteri toksik makrofag), sering ditemukan di lingkungan air tawar dan payau.

Ketika tikus terinfeksi MTB, kerentanan mereka terhadap kolitis meningkat drastis. Namun, menonaktifkan gen yang bertanggung jawab atas produksi aerolisin atau menetralkan racun dengan antibodi dapat mencegah efek ini. Yang mengejutkan, racun tersebut terdeteksi pada sampel tinja 72% pasien kolitis ulserativa, dibandingkan dengan hanya 12% pada kontrol sehat.

Hubungan yang Kompleks, Bukan Penyebab Sederhana

Meskipun temuan ini menarik, para peneliti menekankan bahwa MTB bukanlah satu-satunya penyebab kolitis ulserativa. Penyakit ini tampaknya mempunyai banyak aspek, dipengaruhi oleh kecenderungan genetik dan faktor lingkungan lainnya. Beberapa orang mungkin mengidap MTB tanpa menderita kolitis, dan penyakit ini dapat terjadi secara independen dari paparan bakteri ini.

“Infeksi MTB yang persisten dapat menyebabkan keadaan hipersensitif di usus besar, namun hal ini tidak berarti bahwa setiap individu yang terinfeksi akan mengalami kolitis. Terjadinya kolitis dalam konteks ini tidak diragukan lagi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik,” jelas Xuena Zhang, peneliti utama studi tersebut.

Perawatan di Masa Depan dan Insiden yang Meningkat

Penelitian ini membuka beberapa jalan untuk pengobatan baru, termasuk menetralkan aerolysin dengan obat-obatan, mengembangkan vaksin yang menargetkan racun atau bakteri, atau menggunakan terapi fag untuk menghilangkan strain penghasil racun.

Martin Kriegel dari Rumah Sakit Universitas Münster mencatat bahwa hubungan antara MTB dan kolitis mungkin sangat kuat di wilayah seperti Tiongkok, di mana infeksi MTB sering terjadi. Mengingat meningkatnya kejadian IBD secara global, memahami peran faktor lingkungan seperti MTB bisa menjadi sangat penting untuk strategi pencegahan yang efektif.

Temuan ini menunjukkan bahwa kolitis ulserativa mungkin lebih terkait erat dengan paparan lingkungan dibandingkan perkiraan sebelumnya. Studi epidemiologi lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hubungan antara MTB dan penyakit ini, namun bukti saat ini menunjukkan adanya faktor yang signifikan, dan berpotensi dapat dicegah, dalam perkembangan kondisi peradangan kronis ini.